Kebijakan Perfilman di Indonesia Masa Orde Baru vs Reformasi dan Implementasinya
- kebijakankom.f13
- Jun 18, 2020
- 11 min read
YOHANES SATRIO WIBOWO
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UAJY
ysw5758@gmail.com
Artikel ini merupakan tugas Ujian Akhir Semester (UAS) untuk Mata Kuliah Regulasi dan Kebijakan Komunikasi pada Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP UAJY, Juni 2020.
Abstrak
Perfilman adalah media yang menjanjikan dalam menyampaikan kreativitas. Setidaknya, dalam dua masa pemerintahan Indonesia: orde baru dan reformasi, peraturan perfilman sudah diatur dalam dua UU yang berbeda pada setiap masanya. Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui UU yang berlaku pada dua masa tersebut serta implementasinya dengan menggunakan metode deskriptif. Dari studi yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa peraturan perfilman dari masa orde baru ke reformasi mengalami perubahan. Kemudian dalam implementasi dan perkembangan perfilman di Indonesia masih belum sejalan dengan peraturan yang berlaku.
Kata kunci: Kebijakan Publik, Perfilman Indonesia, UU perfilman, kebijakan.
Pendahuluan
Perkembangan film di Indonesia sudah ada jejaknya sejak zaman penjajahan Belanda paling tidak sejak tahun 1900an (Selfi, 2014: 10). Pada tahun 1926, film Loetoeng Kasaroeng karya G. Kruger dan L. Heuveldorp diproduksi oleh Belanda dan melibatkan rakyat Indonesia (Novi, 2006: 274). Di zaman Jepang, beberapa film diproduksi dengan ciri khas propaganda yang kuat untuk kepentingan Jepang semata (Novi, 2006: 274). Akhirnya, industri perfilman Indonesia mulai menggeliat dan berkarya pada tahun 1950, lima tahun setelah kemerdekaan, ketika masyarakat Indonesia mengambil alih sumberdaya yang ditinggalkan dari zaman penjajah. Film Long March (Darah dan Doa) karya Usmar Ismail adalah permulaan karya yang dianggap sebagai pijakan awal dari langkah perfilman Indonesia di tanah sendiri (Agung, 2009:-). Film-film Indonesia yang muncul pada zaman itu adalah film yang biasa dalam bentuk sinematografinya namun memiliki nilai nasionalisme yang kuat, terlihat pada kebanyakan film yang muncul pada zaman itu, seperti: Krisis, Tamu Agung, dan lain-lain (Agung, 2009:-).
Film terus berkembang dari zaman ke zaman. Zaman terus bergerak, setelah orde lama, muncul orde baru. Film pun berkembang ke arah yang lain. Jumlah film meningkat drastis. Semakin lama film semakin banyak (Nugroho, 2015: 74). Jika di masa orde lama film dipenuhi dengan nuansa nasionalisme, di masa orde baru genre film lebih beragam terutama dipenuhi film dengan genre drama, romantis, sadis dan horor (Heru, 2011: 375). Hal yang khas dari masa ini adalah film yang kental berbau seksual yang banyak menghiasi film pada masa ini. Setelah masa orde baru, film di Indonesia sempat lesu sejenak akibat krisis ekonomi (Novi, 2006: 276). Namun tak perlu waktu lama bagi industri perfilman Indonesia untuk lebih berkembang. Meski di awal dekade 2000an, nuansa horor berbalut seksual masih banyak di perfilman Indonesia sederet film dengan berbagai genre yang kaya makin banyak diproduksi.
Peraturan mengenai perfilman dari masa ke masa juga mengalami perubahan. Hal tersebut turut memengaruhi produksi film di tanah air. Di masa orde baru hingga saat ini di masa reformasi di mana film sangat berkembang pesat, dua peraturan pemerintah di masing-masing masa sangat memengaruhi bagaimana kemunculan film pada setiap masanya.
Jurnal acuan yang digunakan penulis adalah”Masa-Masa Suram Dunia Perfilman Indonesia (Studi Periode 1957-1968 dan 1992-2000)” oleh Eka Nanda Shofa Alkhajar. Jurnal ini berfokus pada bagaimana film berkembang dan pasang surutnya di masa Orde Lama dan Orde Baru. Kebaharuan penelitian ini adalah peneliti ingin melihat perbedaan kebijakan perfilman pada masa orde baru dan reformasi. Lalu, jurnal acuan lain adalah “Perfilman Indonesia: Perkembangan dan Kebijakan, Sebuah Telaah dari Perspektif Industri Budaya” oleh Ardiyanti. Jurnal ini berfokus pada budaya dan kebijakan yang saling berhubungan dengan industri perfilman Indonesia. Kebaharuan penelitian ini adalah peneliti ingin melihat implementasi kebijakan perfilman terhadap perfilman di masa Orde Baru dan Reformasi.
Dari pemaparan tersebut maka dapat ditentukan suatu rumusan masalah: Bagaimana kebijakan perfilman di masa orde baru dan reformasi serta implementasinya pada perfilman Indonesia? Kemudian, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kebijakan perfilman pada masa orde baru dan reformasi dan serta implementasinya pada perfilman Indonesia. Ada pun metode yang digunakan pada jurnal ini menggunakan metode deskriptif. Metode ini mendeskripsikan dan berusaha memperoleh informasi tentang suatu keadaan yang terjadi (Mardalis, 2007: 15). Penelitian ini akan melihat seperti apa peraturan yang ada di masa orde baru dan reformasi dan bagaimana perbedaan antara kedua masa tersebut.
Hasil dan Pembahasan
Kebijakan menurut Carl J Federick adalah serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan atau kesulitan-kesulitan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Agustino, 2008: 7). Pressman dan Widavsky sebagaimana mendefinisikan kebijakan publik sebagai hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang bias diramalkan. Kebijakan publik itu harus dibedakan dengan bentuk-bentuk kebijakan yang lain misalnya kebijakan swasta (Winarno, 2002: 17). Hal ini dipengaruhi oleh keterlibatan faktor-faktor bukan pemerintah. Robert Eyestone mendefinisikan kebijakan publik sebagai hubungan antara unit pemerintah dengan lingkungannya (Agustino, 2008 : 6).
A. Hasil Kajian
Masa Orde Baru
Perfilman pada masa orde baru diatur dalam UU No. 8 Tahun 1992. Undang-undang ini mengatur seluk beluk perfilman di tanah air yang bertujuan selain sebagai hiburan dan komoditi ekonomi, tetapi juga menjadi sarana pendidikan. UU No. 8 Tahun 1992 menggantikan Filmordonnantie 1940 dan UU No. 1 Pnps Tahun 1964 tentang pembinaan perfilman. Secara garis besar, isi UU No. 8 tahun 1992 adalah sebagai berikut: Pembuatan film dalam prosesnya melindungi artis dan karyawannya dan mendapatkan jaminan sosial serta perlindungan hukum. Dalam segi jasa teknik film, proses pembuatan film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang berizin. Proses pengedaran film harus dinyatakan lulus sensor oleh lembaga sensor film dengan memperhatikan nilai-nilai keagamaan dan sosial budaya yang hidup di kalangan masyarakat. Penayangan film hanya dapat dilakukan di gedung atau tempat yang diperuntukkan untuk film dan perusahaan yang berizin. Film dapat ditarik jika mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.
Di dalam UU No.8 Tahun 1992, perfilman Indonesia diarahkan kepada: pelestarian dan pengembangan nilai budaya bangsa; pembangunan watak dan kepribadian bangsa serta peningkatan harkat dan martabat manusia; pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa; peningkatan kecerdasan bangsa; pengembangan potensi kreatif di bidang perfilman; keserasian dan keseimbangan di antara berbagai kegiatan dan jenis usaha perfilman; terpeliharanya ketertiban umum dan rasa kesusilaan; penyajian hiburan yang sehat sesuai dengan norma-norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dengan tetap berpedoman pada asas usaha bersama dan kekeluargaan, asas adil dan merata, asas perikehidupan dalam keseimbangan, dan asas kepercayaan pada diri sendiri.
Pada masa orde baru, perfilman dan hal yang berkaitan dengannya diatur dan dipegang oleh kementrian penerangan. Perkembangan film pada masa orde baru memang bisa dibilang sangat sedikit dan lambat. Tercatat dalam Novi (2009), setelah UU No.8 Tahun 1992 keluar hingga runtuhnya kekuasaan orde baru pada 1998, produksi film Indonesia adalah sebagai berikut: 1992 sebanyak 41 film; 1993 sebanyak 28 film; 1994 sebanyak 34 film; 1995 sebanyak 26 film; 1996 sebanyak 34 film; 1997 sebanyak 32 film; dan 1998 sebanyak 4 film (Nugroho, 2015: 74). Hal ini juga berimbas pada kebijakan terhadap film impor yang pada masa-masa tersebut sedang gencar masuk ke Indonesia. UU tersebut juga mengatur kuota film impor yang maksimal dalam setahun hanya diperbolehkan 160 film. Film impor menjamur pada masa orde baru dan sebelum UU No. 8 tahun 1992 ditetapkan belum ada peraturan yang jelas sehingga keran impor dibuka sebelum perfilman nasional dapat stabil (Novi, 2009: 285). Meski begitu, tetap dapat dilihat bagaimana produksi film lokal sangat rendah. Kebijakan perfilman yang sudah dibuat sedikit banyak tidak diterapkan pada dunia perfilman tanah air. Para pembuat film diorganisasikan dalam sebuah hirarki karir, sehingga akses pembuatan film ada di tangan mereka yang disetujui pemerintah melalui penyediaan Departemen Penerangan (Irawanto, 1997: 90). Film pada masa orde baru sangatlah diawasi dan ketat jika berhubungan dengan kekuasaan, politik, dan sejenisnya. Film yang dirasakan membahayakan dan menyindir kekuasaan akan dilarang untuk ditayangkan. Poin UU yang menyatakan bahwa tempat penayangan film adalah tempat yang diperuntukkan untuk film dan berizin sangat terlihat di masa orde baru ini. Bioskop diawasi kementerian penerangan dan televisi pada masa itu hanya memiliki satu tayangan siaran dari TVRI yang merupakan saluran pemerintah. Hal tersebut membuat film yang memiliki kualitas cerita namun berbau politik sama sekali tidak berkembang. Trauma komunisme dan propaganda ekonomi dan politik adalah bagian yang khas dari masa orde baru. Sistem kontrol dan sensor juga memasuki dunia perfilman. Semua yang berkaitan dengan perfilman dikontrol oleh kementrian penerangan.
Lembaga sensor yang menangani perfilman di Indonesia sejak zaman kolonialisme Belanda, penjajahan Jepang, hingga UU. No. 8 Tahun 1992 muncul menjadi tidak jauh berbeda, menekan segala bentuk perlawanan politik dan perlawanan kekuasaan. Sugiharto mengatakan bahwa film pada masa orde baru di salah satu sisinya merupakan fenomena internasionalisasi dan perluasan wawasan, namun di sisi lain, adalah ancaman besar bagi pencarian identitas, etnis, politis, dan religius (Nugroho, 2015: 76). Genre film yang banyak muncul pada masa orde baru adalah genre-genre drama. Sjuman Djaya adalah salah satu sineas yang namanya cukup besar pada masa orde baru yang karyanya banyak dikenal lewat: Keroncong Kemayoran, Si Doel Anak Modern, dan Kerikil-Kerikil Tajam. Film-film pada masa itu mengandalkan sisi artistik yang memanfaatkan properti, komposisi warna, irama, hingga penjiwaan aktor dan aktrisnya.
Masa Reformasi
Pada masa ini, UU No. 33 Tahun 2009 hadir menggantikan UU No. 8 Tahun 1992. Pada konsideran UU No. 33 Tahun 2009, perfilman juga menjadi alat untuk meningkatkan ketahanan budaya bangsa dan ketahanan nasional. Pada UU No. 33 Tahun 2009, film dibedakan menjadi dua macam yaitu kegiatan perfilman dan usaha perfilman. Kegiatan perfilman adalah penyelenggaraan perfilman yang langsung berhubungan dengan film dan memiliki sifat nonkomersial. Sementara itu, usaha perfilman adalah penyelenggaraan perfilman yang langsung berhubungan dengan film dan bersifat komersial. Dalam UU No. 33 Tahun 2009, tetap ada pasal yang membahas tentang pelarangan film. Film dilarang mengandung isi yang: mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; menonjolkan pornografi; memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/atau antargolongan; menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama; mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; dan/atau merendahkan harkat dan martabat manusia. Fungsi lain dari film di Indonesia di luar fungsinya sebagai benda seni dan budaya, adalah sebagai berikut: fungsi perfilman adalah budaya, pendidikan, hiburan, informasi, pendorong karya kreatif, ekonomi.
Film pada masa reformasi diakui sebagai benda yang memiliki nilai ekonomi sekaligus benda budaya. Pada masa Reformasi, sineas lebih berkembang. Film Indonesia yang sempat terkekang pada masa orde baru setelah lepas dari orde baru memunculkan sineas sineas kreatif yang menghasilkan banyak karya-karya perfilman bagi Indonesia. Di masa awal reformasi, industri perfilman Indonesia terhitung lesu akibat dari inflasi ekonomi dan gejolak politik yang terjadi. Perkembangan dimulai ketika tahun 2003 perfilman Indonesia mulai meningkat menjadi 35 film setahun dan data tahun 2015 menunjukkan produksi film di Indonesia mencapai 115 film setahun (Nugroho, 2015: 83).
Film Indonesia pada masa reformasi dapat dibilang mengalami peningkatan yang pesat. Berbagai jenis film dengan cerita-cerita yang mungkin baru dapat ditemukan pada karya film di masa reformasi bermunculan. Meskipun genre drama masih menguasai Indonesia, namun cerita-cerita yang ditawarkan mengalami banyak perkembangan. Film seperti Petualangan Sherina, Ada Apa Dengan Cinta, Eifel I’m In Love, Laskar Pelangi, The Raid, Pengabdi Setan, Marlina: Pembunuh dalam Empat Babak, dan Gundala adalah beberapa film yang muncul pada masa reformasi. Meski pada awal masa reformasi film-film khas orde baru seperti bergenre horor yang berbau seks seperti Air Terjun Pengantin, Suster Keramas dan lain-lain, semakin lama film bergenre seperti itu luntur dan digantikan dengan film yang kreatif dan dikenal dunia. Belum lagi kemunculan film-film dan film pendek yang dibuat sineas muda untuk kegiatan perfilman. Banyak film-film dan film pendek dengan kualitas mumpuni yang dihasilkan sineas indie. Film pendek Natalan, Mudik, dan sangat banyak judul film yang dihasilkan dari kegiatan perfilman di Indonesia. Dengan mengakses Youtube dan mengisi dalam pencarian: film pendek Indonesia, siapapun sudah dapat menemukan ratusan bahkan ribuan hasil dari kegiatan perfilman di Indonesia dengan genre dan cerita yang beraneka ragam.
Meski begitu, persaingan film secara global masih harus dihadapi Indonesia. Jumlah produksi film yang sudah meningkat drastis dianggap masih kurang untuk perindustrian film secara global. UU No. 33 Tahun 2009 sebenarnya telah memberikan kewajiban bahwa waktu pemutaran film di Indonesia untuk film Indonesia harus mencapai 60%. Setidaknya data yang dihimpun pada Januari- Juni 2014 kuota terpenuhi baru pada angka 31% (Yeni, 2015:4). Hal ini adalah upaya bagi film Indonesia melawan dominasi film luar negeri. Meski begitu dalam prakteknya, realisasi yang ada masih dianggap jauh dari target. Film yang masih mendominasi jadwal pemutaran film di bioskop misalnya, masih dikuasai film asing.
B. Pembahasan
Perfilman di Indonesia pada masa Orde Baru dan Reformasi memiliki perbedaan yang signifikan. Dapat dipahami bahwa kedua masa memiliki acuan yaitu undang undang yang sebenarnya sudah baik dan jelas untuk memandu perfilman di Indonesia. UU. No. 8 Tahun 1992 di masa Orde Baru dan UU. No. 33 Tahun 2009 di masa Reformasi adalah Undang-Undang yang menaungi perfilman di Indonesia. Beberapa perbedaan kebijakan seperti kebaruan kebijakan yang menyesuaikan dengan zaman dan juga seperti kuota film lokal yang diperbanyak pada masa reformasi adalah langkah-langkah yang diusahakan pemerintah dalam menanggapi tantangan zaman dan perkembangan film di Indonesia. Beberapa peraturan dasar seperti pelarangan bentuk kekerasan, pornografi, dan nilai-nilai keagamaan dan budaya tetap ada dalam kedua Undang-Undang tersebut. Lembaga sensor juga sudah ada di dua masa tersebut. Hal yang membedakan dalam dua masa tersebut adalah bentuk penerapan dari kebijakan tersebut. Di masa Orde Baru, film banyak beredar di Indonesia, termasuk film impor. Peran lembaga sensor di masa Orde Baru tidak terlalu terlihat kinerjanya. Hal ini adalah imbas dari sistem pemerintahan Orde Baru yang tegas terhadap segala bentuk film yang menyinggung pemerintahan. Di sisi lain, perkembangan film Indonesia di Masa Orde Baru menjadi hanya sebatas keharusan memproduksi film tanpa melihat makna mendalam pada film yang ada. Film berbau seksual sangat subur pada masa Orde Baru yang mana jelas menyalahi UU. No. 8 Tahun 1992. Meski begitu, film dengan tema tersebut dianggap paling ideal untuk sejalan dengan kebijakan anti kritik pemerintah masa Orde Baru.
Undang-undang perfilman yang sudah dibuat dalam UU No. 8 Tahun 1992 juga tidak sepenuhnya berjalan baik. Pemerintah terkesan terlalu berusaha mempertahankan kekuasaan sehingga meninggalkan hal-hal yang lain. Kebijakan politik represif yang berjalan pada masa orde baru sangat berpengaruh terhadap segala kehidupan termasuk perfilman Indonesia. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa film-film yang menunjukkan politik, perlawanan politik dan kekuasaan, dan sejenisnya tak akan bisa memasuki pasar perfilman Indonesia. Film politik yang ada pada masa orde baru merupakan pesanan politik dari pemerintah yang berjalan. Film politik yang dapat teringat pada masa orde baru tentu saja film Pengkhianatan G30S PKI. Bagaimana tidak, film ini diputar setiap tahunnya dan mewajibkan semua anak di Indonesia untuk menyaksikan film ini. Sebuah film anti-komunisme yang dibuat atas pesanan pemerintah untuk memberi kesan bahwa komunis merupakan musuh yang sangat jahat dan harus dijauhkan dari negara Indonesia. Faktanya, film Pengkhianatan G30S PKI tidak sepenuhnya sesuai fakta. Banyak bagian-bagian dari film ini sangat dilebih lebihkan dan menunjukkan adegan penuh darah dan kekerasan -yang mana sangat tidak cocok ditonton oleh anak-anak. Kementerian penerangan adalah kementerian yang bertanggung jawab pada aktivitas perfilman di Indonesia.
Di awal masa reformasi, kebijakan UU No. 8 Tahun 1992 peninggalan Orde Baru masih digunakan hingga akhirnya digantikan oleh UU No. 33 Tahun 2009. Penggantian UU ini adalah upaya menyesuaikan zaman karena banyaknya perkembangan dari sisi ekonomi hingga teknologi. Di masa Reformasi, geliat film Indonesia sangat terlihat. Film dengan genre dan cerita yang tidak ditemukan pada masa Orde Baru berkembang pada masa Reformasi. Hal ini adalah hasil dari pergantian pemerintah dari masa Orde Baru. Kebebasan berkarya dan berpendapat lebih diberi ruang pada masa Reformasi. Di masa reformasi, lembaga sensor film lebih berperan dalam menyeleksi film baik lokal maupun impor. Setiap film yang akan ditayangkan secara massal harus mendapatkan izin dan melewati proses sensor dan cutting bila dirasa perlu. Undang-undang yang berlaku di masa reformasi lebih diterapkan dalam film yang muncul di Indonesia. Film khas masa Orde Baru perlahan menghilang dari peredaran pasar digantikan oleh film-film baru yang lebih segar dan menarik dari segi sinematografi dan ide. Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menaungi perfilman Indonesia pada masa Reformasi. Geliat perfilman diharapkan juga mampu menaikkan pariwisata Indonesia.
Perfilman di Indonesia pada masa ini juga memberikan kuota yang lebih pada film lokal. Persaingan film baik secara lokal maupun secara global diharapkan menjadi pemicu berkembangnya film Indonesia. Film pada masa Reformasi lebih dianggap sebagai alat selain sebagai hiburan juga sebagai pemasukan dan pengenalan Indonesia secara luas. Semakin banyak ragam film yang ada juga membuat minat penonton di Indonesia meningkat. Peraturan yang ada dan jalannya industri perfilman di Indonesia tak lepas dari kebebasan yang lebih dijunjung pada masa Reformasi.
Kesimpulan
Dari pembahasan, dapat disimpulkan bahwa peraturan mengenai perfilman di Indonesia dalam dua masa yaitu orde baru dan reformasi mengalami perubahan. Pada Masa orde baru, perfilman Indonesia diatur dalam UU No. 8 Tahun 1992. Pada masa reformasi, peraturan perfilman di Indonesia diatur dalam UU No. 33 Tahun 2009. Meski begitu, implementasi pada perfilman yang berlaku di Indonesia tidak sepenuhnya memenuhi peraturan yang telah dibuat. Perkembangan perfilman pada masa orde baru sangat lambat karena sangat diawasi pemerintah. Film pada masa Orde Baru digunakan oleh pemerintah sebagai alat propaganda dan urusan kekuasaan. Di sisi lain, film yang berkembang pada masa itu malah melanggar peraturan yang diterapkan: kurang menunjukkan budaya Indonesia dan menunjukkan sisi seks dan kekerasan. Di masa reformasi, film Indonesia berkembang sangat pesat dan banyak film diproduksi tetapi jumlahnya belum memenuhi 60% kuota pemutaran film di bioskop yang diatur pemerintah. Di sisi lain, perfilman Indonesia masih beberapa tidak memenuhi peraturan seperti: kekerasan, narkoba, dan pornografi.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, W. P. (2009). Kebijakan Pemerintah Orde Baru Terhadap Perfilman Indonesia Tahun 1966-1979. Skripsi. FIPB, Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia, Depok.
Agustino, L. (2006). Politik dan Kebijakan Publik. Bandung: AIPI.
Ardiyanti, (2017). Perfilman Indonesia: Perkembangan dan Kebijakan, Sebuah Telaah dari Perspektif Industri Budaya. Jakarta. Jurnal DPR RI Vol. 22 No. 2.
Heru, E. (2011). Sensor Film di Indonesia dan Permasalahannya dalam Perspektif Sejarah (1945-2009). Jurnal Balai Pelestarian dan Nilai Tradisional Bandung 2011, hlm. 365-383.
Irawanto, B. (1999). Film, Ideologi, dan Militer. Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia. Yogyakarta: Media Persada.
Mardalis. 2007. Metode Penelitian Pendekatan Studi Proposal. Jakarta: Bumi Aksara.
Novi, K. (2006). Lambannya Pertumbuhan Industri Perfilman. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 9 Nomor 3 tahun 2006, hlm. 271-296.
Nugroho, G., dan Herlina D. (2015). Krisis dan Paradoks Film Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Selfi, R. F. (2013). Sejarah Konvergensi Perfilman Global dan Perspektif Indonesia. Jurnal FISIP UI 2013.
Undang- Undang No.8 Tahun 1992
Undang- Undang No. 33 Tahun 2009
Winarno, B. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo.
Yeni, H. (2015). Mengembalikan Kejayaan Perfilman Indonesia Melalui Undang-Undang Perfilman. Jurnal RechtsVinding 2015, hlm. 1-7.
Comments