top of page
Search

Kebijakan Sensor dalam Perfilman Indonesia

  • Writer: kebijakankom.f13
    kebijakankom.f13
  • Jun 18, 2020
  • 9 min read

MARIA CHRISTA ROSARI

Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UAJY


Artikel ini merupakan tugas Ujian Akhir Semester (UAS) untuk Mata Kuliah Regulasi dan Kebijakan Komunikasi pada Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP UAJY, Juni 2020


Abstraks:

Terdapat beberapa hal yang menarik untuk dibahas dalam dunia perfilman, salah satunya adalah perdebatan mengenai sensor film. Saat ini, sensor pada film yang dilakukan oleh Lembaga Sensor Film (LSF) selaku regulator menjadi diragukan karena sensor dirasa hanya membatasi ide para sineas dan mengurangi esensi pada film. Selain itu, kebijakan yang mengatur mengenai perfilman di Indonesia juga perlu ditinjau. Perfilman Indonesia sebenarnya tidak membutuhkan lembaga sensor, akan tetapi yang dibutuhkan adalah lembaga klasifikasi film. Artikel ini akan membahas mengenai apakah kebijakan sensor pada film dapat mengembangkan perfilman Indonesia dengan menggunakan metode penelitian kajian pustaka.

Kata kunci (keywords): regulasi, LSF, film, sensor.


Pendahuluan

Film adalah salah satu media massa yang berkembang di masyarakat. Saat ini film tidak lagi hanya dianggap sebagai karya seni tetapi sudah menjadi sebuah praktik sosial dan komunikasi massa yang dapat dijadikan sebagai bahan kajian atau diteliti. Film merupakan salah satu media massa dan mampu merefleksikan masyarakat karena adanya desakan oleh komersial sehingga harus mengikuti kemauan pasar agar dapat menjaring banyak penonton (Jowett & Linton, 1980: 74). Terdapat juga pandangan bahwa film dapat dilihat sebagai cermin yang memantulkan suatu kepercayaan dan nilai-nilai dominan dalam kebudayaan tertentu (Turner, 1991: 131).


Seiring dengan berkembangnya zaman, industri dan produksi film juga semakin berkembang. Perkembangan ini memunculkan berbagai macam jenis film. Dengan bermunculannya jenis film, lembaga keluarga menjadi lembaga utama yang harusnya melakukan sensor. Sensor ini dilakukan dengan menanamkan nilai-nilai pada anak ketika menonton sebuah tayangan film. Ketika lembaga keluarga tidak lagi dapat menjadi sistem nilai yang utama, maka dibentuklah badan atau lembaga lain untuk memberikan mekanisme baru dalam menjalankan fungsi penyensoran di masyarakat (Nugroho, 1995: 147). Hal ini kemudian dapat dijadikan dasar untuk diberlakukannya sensor pada film. Persoalan utama yang menyebabkan adanya sensor film adalah persoalan kontrol ideologi dan budaya suatu daerah (Anshari, 2014: 221).


Lembaga yang dibentuk pemerintah Indonesia untuk melakukan sensor pada film adalah Lembaga Sensor Film (LSF). Namun dengan dibentuknya LSF ini, terdapat persoalan yang kompleks mengenai sensor film di Indonesia. Permasalahan sensor ini termasuk diantaranya membuat batasan imajinasi para sineas dalam membuat suatu karya dan membuat penonton tidak dapat mengikuti alur dan jalan cerita film secara utuh. Terdapat juga masalah pada awal abad 21 yaitu film yang telah lolos sensor dari LSF, belum tentu dapat ditayangkan di bioskop-bioskop dengan semestinya. Beberapa film ditentang oleh kelompok masyarakat tertentu (biasanya mewakili golongan agama, budaya, pendidik dan sebagainya) bahkan dari institusi seperti pemerintah daerah dan tentara (Erwantoro, 2011: 366).

Bedasarkan pemaparan di atas, permasalahan pokok yang akan dibahas dalam artikel ini antara lain:

  1. Apakah dasar LSF melakukan sensor pada film?

  2. Apa dampak dari penyensoran film?

  3. Apakah kebijakan sensor pada film dapat mengembangkan perfilman Indonesia?

Dengan demikian, artikel ini digunakan untuk melihat dan membedah mengenai permasalahan sensor film di Indonesia. Dalam membedah dan menganalisis permasalahan sensor film ini, penulis akan menggunakan metode studi pustaka. Studi pustaka merupakan metode pengumpulan data yang mengarah pada pencarian data dan informasi melalui dokumen-dokumen yang dapat mendukung proses penulisan (Sugiyono, 2005: 83).


Hasil dan Pembahasan

A. Hasil Kajian


Sejarah Sensor di Indonesia

Pada tanggal 30 Maret 1992 ditetapkanlah Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1992, dinyatakan bahwa sensor film adalah penelitian dan penilaian terhadap film dan reklame film untuk menentukan dapat atau tidaknya sebuah film dipertunjukkan atau ditayangkan kepada umum, baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar atau suara tertentu. Dari UU Perfilman Tahun 1992, lahir Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1994 Tentang Lembaga Sensor Film (LSF). Dalam PP No. 7 Tahun 1994 tersebut, LSF memiliki kewenangan:

  1. meluluska sepenuhnya suatu film dan reklame film untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum;

  2. memotong atau menghapus bagian gambar,adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang tidak layak untuk dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum;

  3. menolak suatu film dan reklame film yang tidak layak untuk untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum;

  4. menetapkan penggolongan usia penonton;

  5. menyimpan dan/ atau memusnahkan potongan film hasil penyensoran dan film serta rekaman video impor yang sudah habis masa hak edar;

Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi di bidang film turut berubah juga. Film yang sebelumnya hanya dapat direkam pada pita seluloid melalui kamera mekanik, kini sudah dapat direkam dengan sangat efektif dan efisien melalui kamera digital. Sebagai respon atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pada tahun 2009 pemerintah memperbarui Undang-Undang Perfilman dengan melahirkan Undang-undang No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman. Pada Pasal 1 UU Perfilman 2009, disebutkan bahwa sensor film adalah penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukkan kepada khalayak umum.


Sesuai dengan yang dipaparkan dalam UU Perfilman 2009, LSF senantiasa mengedepankan prinsip dialog dalam menjalankan penyensoran. Bahkan LSF sangat membuka ruang konsultasi pra-sensor bagi kreator yang hendak mendiskusikan filmnya. Dialog pra-sensor sudah berjalan secara efektif, yang pada akhirnya ketika film disensorkan sudah bersih dari konten yang tidak diperkenankan oleh undang-undang. LSF juga juga berusaha untuk menampung aspirasi, saran atau masukan dari masyarakat penonton, terkait dengan perlindungan dari pengaruh negatif suatu film. (LSF, 2020)

Kebijakan Penyensoran Film

Awalnya, kebijakan perfilman di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992. Namun, aturan mengenai perfilman di Indonesia kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2007. Pada butir “e” pembukaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2007, tertulis bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman tidak lagi sesuai dengan perkembangan perfilman dan semangat zamannya sehingga perlu dicabut. Undang-undang ini dibentuk setelah adanya tuntutan gerakan reformasi 1998 dalam bidang politik dan kebudayaan, termasuk di dalamnya bidang perfilman. Posisi film bergeser dari ranah politik menjadi ranah budaya serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.


Pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 ini terdiri dari 14 Bab dan 90 pasal. Cakupan dalam undang-undang ini lebih luas jika dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992. Berkenaan dengan sensor film, terdapat pada Bab VI, UU No. 33 Tentang Perfilman 2009.

Pada Pasal 57, disebutkan bahwa:

  1. Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan/ atau dipertunjukkan wajib memperoleh surat tanda lulus sensor.

  2. Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan setelah dilakukan penyensoran yang meliputi:

    1. penelitian dan penilaian tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan suatu film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum;

    2. penentuan kelayakan film dan iklan film untuk diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum; dan

    3. penentuan penggolongan usia penonton film.

  3. Penyensoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan prinsip memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pengaruh negatif film dan iklan film.

Pada Pasal 58, disebutkan bahwa:

  1. Untuk melakukan penyensoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3) dibentuk lembaga sensor film yang bersifat tetap dan independen.

  2. Lembaga sensor film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.

  3. Lembaga sensor film bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.

  4. Lembaga sensor film dapat membentuk perwakilan di ibukota provinsi.

Pada Pasal 59 ditegaskan bahwa:

"Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) diterbitkan oleh lembaga sensor film". Prinsip penyensoran juga, dapat dilihat pada pasal 60, yang bunyinya:

  1. Lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) melaksanakan penyensoran berdasarkan pedoman dan kriteria sensor film yang mengacu kepada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7.

  2. Lembaga sensor film melaksanakan penyensoran berdasarkan prinsip dialog dengan pemilik film yang disensor.

  3. Lembaga sensor film mengembalikan film yang mengandung tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemilik film yang disensor untuk diperbaiki.

  4. Lembaga sensor film mengembalikan iklan film yang tidak sesuai dengan isi film sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2) kepada pemilik iklan film untuk diperbaiki.

  5. Lembaga sensor film dapat mengusulkan sanksi administratif kepada Pemerintah terhadap pelaku kegiatan perfilman atau pelaku usaha perfilman yang melalaikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7.

Pada Pasal 61 disebutkan bahwa:

  1. Lembaga sensor film memasyarakatkan penggolongan usia penonton film dan kriteria sensor film.

  2. Lembaga sensor film membantu masyarakat agar dapat memilih dan menikmati pertunjukan film yang bermutu serta memahami pengaruh film dan iklan film.

  3. Lembaga sensor film mensosialisasikan secara intensif pedoman dan kriteria sensor kepada pemilik film agar dapat menghasilkan film yang bermutu.

Dasar Penyensoran Film

Setiap regulasi atau undang-undang pasti memiliki badan atau lembaga yang mengawasinya yang dinamakan regulator. Sama halnya dengan masalah sensor di Indonesia. Lembaga yang menangani masalah sensor di Indonesia adalah Lembaga Sensor Film (LSF). Bedasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Lembaga Sensor Film Pasal 2, setiap film yang akan dipertunjukkan kepada publik harus memperoleh surat tanda lulus sensor dari Lembaga Sensor Film (LSF). Pada pasal 4 ayat 1, LSF mempunyai fungsi yaitu:

  1. melindungi masyarakat dari dampak negatif yang timbul dalam peredaran, pertunjukan atau penayangan film dan reklame film yang tidak sesuai dengan dasar, arah dan tujuan perfilman Indonesia

  2. memelihara tata nilai dan tata budaya bangsa dalam bidang perfilman di Indonesia

  3. memantau apresiasi masyarakat terhadap film dan reklame film yang diedarkan, dipertunjukkan atau ditayangkan dan menganalisis hasil pemantauan tersebut untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tugas penyensoran berikutnya atau disampaikan kepada Menteri sebagai bahan pengambilan kebijaksanaan ke arah pengembangan perfilman di Indonesia.

Dalam melakukan sensor, LSF memiliki kriteria sensor seperti yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 33 tahun 2009 pasal 6. Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang:

  1. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya

  2. menonjolkan pornografi

  3. memprovokasi terjadinya pertentangan antar kelompok, antar suku, antar-ras, atau antar golongan

  4. menistakan, melecehkan, atau menodai nilai-nilai agama; mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum

  5. merendahkan harkat dan martabat manusia

Berdasarkan kriteria sensor tersebut, LSF dapat melakukan penyensoran pada film yang melanggar kriteria tersebut. Penyensoran dilaksanakan dengan melakukan dialog dengan pemilik film yang disensor yaitu pelaku kegiatan perfilman, pelaku usaha perfilman, perwakilan diplomatik atau badan internasional yang diakui Pemerintah. Film yang mengandung tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor dikembalikan kepada pemilik film untuk diperbaiki sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor. Sehingga dapat dikatakan bahwa LSF melakukan sensor ketika ada film yang melanggar kriteria tersebut.


B. Pembahasan

Menurut Irawanto (dalam Anshari, 2014: 221), terdapat beberapa hal pokok yang berkaitan dengan penyelenggaraan sensor yaitu sensor dianggap menghambat kebebasan berekspresi dan mendapatkan informasi, kriteria sensor yang ambigu, generalisasi sensor yang tidak menghargai kepentingan apresiasi film, serta peran pemerintah yang menjadikan sensor sebagai upaya menjaga status quo, dan sebagainya. Bagi para pembuat film, hal tersebut sangat memberatkan karena mereka tidak dapat membuat film dengan leluasa. Penyensoran pada film sering dilakukan tanpa melihat esensi atau makna film tersebut. Selain itu, terkadang sensor membuat jalan cerita dari film menjadi tidak lengkap dan membuat penonton menjadi tidak dapat menikmati film secara utuh. Hal ini membuat banyak pertanyaan apakah sensor film masih efektif.


Seperti halnya yang terjadi pada film ‘Kucumbu Tubuh Indahku’ garapan Garin Nugroho. Film ini dilarang tayang di bioskop Indonesia karena dinilai mempromosikan isu LGBT yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dianut di Indonesia (Sembiring, 2019). Film ini mengisahkan perjalanan Arjuno seorang penari Lengger Lanang yaitu penari laki-laki yang menarikan tarian perempuan. Hal ini menyebabkan Arjuno mengalami kesulitan yang berkaitan dengan identitas ekspresi gender sejak kecil dan kondisi ini membuatnya merasa sulit berkomunikasi. Film ini mencerminkan sikap sebagian masyarakat Indonesia yang konon beragam namun faktanya sulit menerima perbedaan. Film ini juga ingin menampilkan bahwa kelompok marjinal yang diwakili oleh Arjuno dan teman-teman lenggernya menjadi korban dari kepentingan politik kelompok tertentu. (Priherdityo, 2019)


Namun, film ini tidak lulus sensor karena dianggap melanggar norma dan nilai kebudayaan Indonesia ini justru dihargai di dunia perfilman internasional. Film ini memperlihatkan budaya asli Indonesia yang kerap menjadi korban politik seperti dianggap sebagai komunisme dan menentang agama. Padahal, kebudayaan tersebut lahir dengan sendirinya dari masyarakat yang kemudian mencoba menghilangkannya demi ego suatu golongan. Film ini berhasil mendapat banyak penghargaan internasional. Sangat disayangkan jika hal ini terus terjadi di dunia perfilman Indonesia. Film-film yang berpotensi dan mengangkat isu-isu lokal Indonesia yang belum banyak diketahui masyarakat, justru tidak lulus sensor dan tidak dapat tayang di bioskop pada daerah-daerah tertentu di Indonesia.

Saat ini, yang dibutuhkan bukan lagi lembaga sensor namun lembaga klasifikasi. Terdapat kelompok dari pihak perfilman yaitu Masyarakat Film Indonesia (MFI) memberikan tawaran alternatif sensor yaitu sistem klasifikasi. Tawaran tersebut berisi dalam melaksanakan tugasnya, LSF memberdayakan sistem melalui penilaian klasifikasi film (rating), sehingga semua unsur dapat berperan (Anshari, 2014: 221). Tidak hanya mereka yang bekerja dalam industri film saja yang berperan tetapi juga peran keluarga sebagai kunci utama pemberdayaan publik, dan sektor pendidikan. Sebagai gerbang utama untuk melindungi film dari tampilan pornografi dan kekerasan, LSF dapat menerapkan sistem penilaian “un-rated”, yaitu ditolak sama sekali. Akan tetapi, LSF juga harus memberikan perlakuan khusus terhadap film-film yang memang dibuat dengan sengaja untuk kepentingan festival, pendidikan, instruksional, atau kesehatan.


Terkait dengan kebijakan perfilman, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 ini diharapkan dapat mengatur perfilman dengan lebih demokratis. Namun pada kenyataannya, UU No. 33 tahun 2009 sebagai kebijakan yang mengatur mengenai perfilman Indonesia dirasa belum dapat memberikan arahan dan mendorong produksi konten film yang beragam dan demokratis. Hal ini dikarenakan peraturan yang tertuang di Undang-Undang tersebut seolah hanya memperhatikan soal moralitas, norma dan nilai semata dan membatasi para pembuat film mengekspresikan ide serta imaginasi mereka dalam film. Selain itu, masih diberlakukannya sistem sensor pada film juga semakin membatasi kreatifitas para pembuat film. Permasalahan ini membuat para pembuat film merasa terkekang dan tidak ekspresif.


Kesimpulan

Pergantian regulasi yang mengatur tentang perfilman Indonesia dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2007 dirasa masih belum bisa menyelesaikan permasalahan sensor film. Sensor pada film memiliki dampak yaitu menghambat kebebasan berekspresi dan mendapatkan informasi, kriteria sensor yang ambigu dan generalisasi sensor yang tidak menghargai kepentingan apresiasi film. Sensor pada film juga berdampak bagi penikmat film karena beberapa sensor dirasa mengganggu jalan cerita film, menghilangkan esensi film dan menggangu penonton film untuk mendapatkan informasi. Sebaiknya, LSF menerapkan sistem klasifikasi agar seluruh komponen baik dari industri film maupun keluarga dapat berperan mengklasifikasi film itu sendiri. LSF juga harus mengklasifikasi dan mengapresiasi mana saja film yang memang dibuat untuk kepentingan festival, gelar budaya, pendidikan dan komersial.


Daftar Pustaka

1. Anshari, Irham Nur. (2014). Sistem Klasifikasi dalam Pemutaran Film: Studi Kasus Klasifikasi Film di Kinoki. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 17(3): 220-235.

2. Erwantoro, Heru. (2011). Sensor Film di Indonesia dan Permasalahannya dalam Perspektif Sejarah (1945 – 2009). Jurnal Patanjala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, 3(2): 365-383.

3. Jowett , G. dan J Linton. (1980). Movies as mass communication. Beverly Hills: Sage.

4. Lembaga Sensor Indonesia. (2020). Diakses melalui https://www.lsf.go.id/v2/ pada 17 Juni 2020 pukul 13.50 WIB.

5. Nugroho, Garin. (1995). Kekuasaan dan hiburan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

6. Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 7 tahun 1994 tentang lembaga sensor film. Diakses melalui https://www.bphn.go.id/data/documents/94pp007.pdf pada 28 April 2020 pukul 21.43 WIB.

7. Priherdityo, Endro. (2019). Ulasan film: ‘kucumbu tubuh indahku’ Diakses melalui https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20190426103729-220-389810/ulasan-film-kucumbu-tubuh-indahku pada 16 Juni 2020 pukul 22.20 WIB.

8. Sembiring, Ira Gita. (2019). Kucumbu tubuh indahku, film kontroversi dengan sederet prestasi. Diakses melalui https://www.kompas.com/hype/read/2019/11/14/101651466/kucumbu-tubuh-indahku-film-kontroversi-dengan-sederet-prestasi pada 28 April 2020 pukul 22.36 WIB.

9. Sugiyono. (2005). Memahami penelitian kualitaif. Bandung: Alfa Beta.

10. Turner, Graeme. (1991). Film as social practice. London: Routledge.

11. Undang-undang nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman. Diakses melalui https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-33-2009-perfilman pada 28 April 2020 pukul 21.50 WIB.

 
 
 

Recent Posts

See All

Kommentare


Join my mailing list

Thanks for submitting!

© 2023 by The Book Lover. Proudly created with Wix.com

bottom of page