top of page
Search

Regulasi Penyiaran Film: Perlukah Sensor pada Film?

  • Writer: kebijakankom.f13
    kebijakankom.f13
  • Apr 30, 2020
  • 8 min read

Oleh Maria Christa Rosari (180906769)


Abstraks:

Perkembangan film di Indonesia begitu pesat. Semua perkembangan itu tidak dapat terlepas dari sejarah perfilman nasional itu sendiri. Namun, terdapat beberapa persoalan di dunia perfilman, salah satunya adalah persoalan mengenai sensor. Saat ini, efektifitas sensor yang dilakukan oleh Lembaga Sensor Film (LSF) selaku regulator menjadi diragukan karena sensor dirasa hanya menbatasi ide para sineas dan mengurangi esensi pada film. Selain itu, regulasi yang mengatur mengenai perfilman di Indonesia juga perlu ditinjau. Artikel ini akan membahas mengenai efektifitas regulasi dan regulator untuk mengembangkan perfilman Indonesia.

Kata kunci (keywords): regulasi, LSF, film, sensor.


PENDAHULUAN

Film adalah salah satu media massa yang berkembang di masyarakat. Saat ini film tidak lagi hanya dianggap sebagai karya seni tetapi sudah menjadi sebuah praktik sosial dan komunikasi massa yang dapat dijadikan sebagai bahan kajian atau diteliti. Film merupakan salah satu media massa dan mampu merefleksikan masyarakat karena adanya desakan oleh komersial sehingga harus mengikuti kemauan pasar agar dapat menjaring banyak penonton (Jowett & Linton, 1980: 74). Terdapat juga pandangan bahwa film dapat dilihat sebagai cermin yang memantulkan suatu kepercayaan dan nilai-nilai dominan dalam kebudayaan tertentu (Turner, 1991: 131).


Seiring dengan berkembangnya zaman, industri dan produksi film juga semakin berkembang. Perkembangan ini memunculkan berbagai macam jenis film. Ketika lembaga keluarga tidak lagi dapat sistem nilai yang utama, maka akan dibentuk badan atau lembaga lain untuk memberikan mekanisme baru dalam menjalankan fungsi di masyarakat (Nugroho, 1995: 147). Hal ini kemudian dapat dijadikan dasar untuk diberlakukannya sensor pada film. Persoalan utama yang menyebabkan adanya sensor film adalah persoalan kontrol ideologi dan budaya suatu daerah (Anshari, 2014: 221).


Lembaga yang dibentuk pemerintah Indonesia untuk melakukan sensor pada film adalah Lembaga Sensor Film (LSF). Namun dengan dibentuknya LSF ini, terdapat persoalan yang kompleks mengenai sensor film di Indonesia. Permasalahan sensor ini termasuk diantaranya membuat batasan imajinasi para sineas dalam membuat suatu karya dan membuat penonton tidak dapat mengikuti alur dan jalan cerita film secara utuh. Terdapat juga masalah pada awal abad 21 yaitu film yang telah lolos sensor dari LSF, belum tentu dapat ditayangkan di bioskop-bioskop dengan semestinya. Beberapa film ditentang oleh kelompok masyarakat tertentu (biasanya mewakili golongan agama, budaya, pendidik dan sebagainya) bahkan dari institusi seperti pemerintah daerah dan tentara (Erwantoro, 2011: 366).


Bedasarkan pemaparan di atas, permasalahan pokok yang akan dibahas dalam artikel ini antara lain:

  1. Apakah dasar dilakukannya penyensoran pada film?

  2. Apakah saat ini LSF masih efektif?

  3. Apa dampak dari dilakukannya penyensoran pada film?

Dengan demikian, artikel ini digunakan untuk melihat dan membedah mengenai permasalahan sensor film di Indonesia. Dalam membedah dan menganalisis permasalahan sensor film ini, penulis akan menggunakan metode studi pustaka. Studi pustaka merupakan metode pengumpulan data yang mengarah pada pencarian data dan informasi melalui dokumen-dokumen yang dapat mendukung proses penulisan (Sugiyono, 2005: 83).


PEMBAHASAN

Perkembangan perfilman Indonesia saat ini sedang mengalami kenaikan pesat. Pencapaian film nasional hingga seperti sekarang ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan film di Indonesia. Pada tahun 1924, masyarakat Indonesia disuguhi dengan film-film buatan Cina. Pada tahun 1926, mulai diproduksi film bisu berjudul ‘Loetoeng Kasaroeng’ yang ditayangkan pertama kali di teater Elite and Majestic, Bandung. Kemudian pada tahun 1931, film lokal dengan dialog mulai dibuat. Mulai dari film ‘Boenga Roos’ dari Palembang sampai ‘Indonesia Malaise’ dibuat namun hasilnya masih sangat buruk. Pada tahun 1934, seorang wartawan Belanda bernama Balink bekerja sama dengan Wong bersaudara (industri film Shanghai) membuat film ‘Paneh’ yang menampilkan keindahan Hindia-Belanda, namun tidak mendapat respon baik.


Sekitar tahun 1942-1949, film di Indonesia digunakan sebagai alat propaganda politik Jepang. Tahun 1942, para artis mulai terjun ke panggung sandiwara sebagai pengganti bioskop dan berada dalam pimpinan Usmar Ismail (Bapak Perfilman Nasional). Kemudian paada 30 Maret 1950, menjadi hari pertama pengambilan gambar film ‘Darah dan Doa/ Long March of Siliwangi’ yang disutradarai Usmar Ismail. Hari tersebut kemudian ditetapkan sebagai Hari Film Nasional Indonesia. Pada tahun 1963-1970, akibat dari G-30S PKI, peredaran film menjadi kacau dan film nasional masih sedikit. Perfilman Indonesia terbantu dengan munculnya banyak film impor yang meningkatkan jumlah penonton. Sekitar tahun 1970-1991, teknologi pembuatan film dan era bioskop mengalami kemajuan sehingga mampu bersaing dengan TVRI. Pada tahun 1991-1998, perfilman Indonesia mengalami penurunan dan hanya mampu memproduksi 2-3 film tiap tahun. Namun, pada tahun 1998-sekarang, perfilman nasional Indonesia kembali bangkit dan mendapat banyak prestasi. (Rahadian, 2019)


Saat ini, banyak film nasional yang sukses meraih jutaan penonton. Contohnya film ‘Pengabdi Setan’ garapan Joko Anwar yang berhasil mendapat predikat sebagai film horor Indonesia terlaris 2017 dengan meraih 4,2 juta penonton (Samudro, 2019). Namun, film Indonesia kurang diminati masyarakat dan kurang dapat bersaing dengan fim luar. Hal itu dikarenakan kurangnya variasi genre film. Ada kecenderungan ketika terdapat satu film yang populer di pasaran, maka akan banyak bermunculan film dengan genre dan cerita yang hampir sama. Biasanya genre yang popular di bioskop Indonesia yaitu drama, komedi, dan horor. Permasalahan semacam ini dapat terjadi karena dalam memproduksi apapun, Indonesia masih terpaku pada moralitas, nilai dan norma yang tertuang dalam peraturan-peraturan perfilman sehingga para pembuat film hanya memproduksi film yang pasaran dan kurang dapat bereksplorasi dengan berbagai genre seperti action, isu-isu gender atau kemanusiaan. Permasalahan ini juga mungkin terjadi karena dilakukannya penyensoran pada film.


Undang-Undang yang Mengatur Perfilman di Indonesia

Awalnya, Undang-Undang yang mengatur perfilman di Indonesia tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992. Namun, aturan mengenai perfilman di Indonesia kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2007. Pada butir “e” pembukaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2007, tertulis bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman tidak lagi sesuai dengan perkembangan perfilman dan semangat zamannya sehingga perlu dicabut. Undang-undang ini dibentuk setelah adanya tuntutan gerakan reformasi 1998 dalam bidang politik dan kebudayaan, termasuk di dalamnya bidang perfilman. Posisi film bergeser dari ranah politik menjadi ranah budaya serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.


Pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 ini terdiri dari 14 Bab dan 90 pasal. Cakupan dalam undang-undang ini lebih luas jika dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992. Undang-undang yang baru ini diharapkan dapat mengatur perfilman dengan lebih demokratis. Namun pada kenyataannya, UU No. 33 tahun 2009 sebagai regulasi perfilman Indonesia dirasa belum dapat memberikan arahan dan mendorong produksi konten film yang beragam dan demokratis. Hal ini dikarenakan peraturan yang tertuang di Undang-Undang tersebut seolah hanya memperhatikan soal moralitas, norma dan nilai semata dan membatasi para pembuat film mengekspresikan ide serta imaginasi mereka dalam film. Selain itu, masih diberlakukannya sistem sensor pada film juga semakin membatasi kreatifitas para pembuat film. Permasalahan ini membuat para pembuat film merasa terkekang dan tidak ekspresif.


Alasan Lembaga Sensor Melakukan Penyensoran Film

Setiap regulasi atau undang-undang pasti memiliki badan atau lembaga yang mengawasinya yang dinamakan regulator. Sama halnya dengan masalah sensor di Indonesia. Lembaga yang menangani masalah sensor di Indonesia adalah Lembaga Sensor Film (LSF). Bedasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Lembaga Sensor Film Pasal 2, setiap film yang akan dipertunjukkan kepada publik harus memperoleh surat tanda lulus sensor dari Lembaga Sensor Film (LSF). Pada pasal 4 ayat 1, LSF mempunyai fungsi yaitu:

  1. melindungi masyarakat dari dampak negatif yang timbul dalam peredaran, pertunjukan atau penayangan film dan reklame film yang tidak sesuai dengan dasar, arah dan tujuan perfilman Indonesia.

  2. memelihara tata nilai dan tata budaya bangsa dalam bidang perfilman di Indonesia.

  3. memantau apresiasi masyarakat terhadap film dan reklame film yang diedarkan, dipertunjukkan atau ditayangkan dan menganalisis hasil pemantauan tersebut untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tugas penyensoran berikutnya atau disampaikan kepada Menteri sebagai bahan pengambilan kebijaksanaan ke arah pengembangan perfilman di Indonesia.

Dalam melakukan sensor, LSF memiliki kriteria sensor seperti yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 33 tahun 2009 pasal 6. Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang:

  1. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya

  2. menonjolkan pornografi

  3. memprovokasi terjadinya pertentangan antar kelompok, antar suku, antar-ras, atau antar golongan

  4. menistakan, melecehkan, atau menodai nilai-nilai agama; mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum

  5. merendahkan harkat dan martabat manusia

Berdasarkan kriteria sensor tersebut, LSF dapat melakukan penyensoran pada film yang melanggar kriteria tersebut. Penyensoran dilaksanakan dengan melakukan dialog dengan pemilik film yang disensor yaitu pelaku kegiatan perfilman, pelaku usaha perfilman, perwakilan diplomatik atau badan internasional yang diakui Pemerintah. Film yang mengandung tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor dikembalikan kepada pemilik film untuk diperbaiki sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor. Sehingga dapat dikatakan bahwa LSF melakukan sensor ketika ada film yang melanggar kriteria tersebut.


Dampak dari Penyensoran Film

Menurut Irawanto (dalam Anshari, 2014: 221), terdapat beberapa hal pokok yang berkaitan dengan penyelenggaraan sensor yaitu sensor dianggap menghambat kebebasan berekspresi dan mendapatkan informasi, kriteria sensor yang ambigu, generalisasi sensor yang tidak menghargai kepentingan apresiasi film, serta peran pemerintah yang menjadikan sensor sebagai upaya menjaga status quo, dan sebagainya. Bagi para pembuat film, hal tersebut sangat memberatkan karena mereka tidak dapat membuat film dengan leluasa. Penyensoran pada film sering dilakukan tanpa melihat esensi atau makna film tersebut. Selain itu, terkadang sensor membuat jalan cerita dari film menjadi tidak lengkap dan membuat penonton menjadi tidak dapat menikmati film secara utuh. Hal ini membuat banyak pertanyaan apakah sensor film masih efektif.


Seperti halnya yang terjadi pada film ‘Kucumbu Tubuh Indahku’ garapan Garin Nugroho. Film ini dilarang tayang di bioskop Indonesia karena dinilai mempromosikan isu LGBT yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dianut di Indonesia (Sembiring, 2019). Namun, film yang tidak lulus sensor karena dianggap melanggar norma dan nilai kebudayaan Indonesia ini justru dihargai di dunia perfilman internasional. Film ini berhasil mendapat banyak penghargaan internasional. Sangat disayangkan jika hal ini terus terjadi di dunia perfilman Indonesia. Film-film yang berpotensi dan mengangkat isu-isu lokal Indonesia yang belum banyak diketahui masyarakat, justru tidak lulus sensor dan tidak dapat tayang di bioskop.


Saat ini, yang dibutuhkan bukan lagi lembaga sensor namun lembaga klasifikasi. Terdapat kelompok dari pihak perfilman yaitu Masyarakat Film Indonesia (MFI) memberikan tawaran alternatif sensor yaitu sistem klasifikasi. Tawaran tersebut berisi dalam melaksanakan tugasnya, LSF memberdayakan sistem melalui penilaian klasifikasi film (rating), sehingga semua unsur dapat berperan (Anshari, 2014: 221). Tidak hanya mereka yang bekerja dalam industri film saja yang berperan tetapi juga peran keluarga sebagai kunci utama pemberdayaan publik, dan sektor pendidikan. Sebagai gerbang utama untuk melindungi film dari tampilan pornografi dan kekerasan, LSF dapat menerapkan sistem penilaian “un-rated”, yaitu ditolak sama sekali. Akan tetapi, LSF juga harus memberikan perlakuan khusus terhadap film-film yang memang dibuat dengan sengaja untuk kepentingan festival, pendidikan, instruksional, atau kesehatan.


KESIMPULAN

Sejarah perkembangan film di Indonesia tidak boleh dilupakan. Hal itu dikarenakan sejarah ini yang membawa perfilman nasional Indonesia menjadi seperti sekarang ini. Namun, pergantian regulasi yang mengatur tentang perfilman Indonesia dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2007 dirasa masih belum bisa menyelesaikan permasalahan sensor film. Sensor pada film memiliki dampak yaitu menghambat kebebasan berekspresi dan mendapatkan informasi, kriteria sensor yang ambigu dan generalisasi sensor yang tidak menghargai kepentingan apresiasi film. Sensor pada film juga berdampak bagi penikmat film karena beberapa sensor dirasa mengganggu jalan cerita film, menghilangkan esensi film dan menggangu penonton film untuk mendapatkan informasi. Sebaiknya, LSF menerapkan sistem klasifikasi agar seluruh komponen baik dari industri film maupun keluarga dapat berperan mengklasifikasi film itu sendiri. LSF juga harus mengklasifikasi dan mengapresiasi mana saja film yang memang dibuat untuk kepentingan festival, gelar budaya, pendidikan dan komersial.


Daftar Pustaka

Anshari, Irham Nur. (2014). Sistem Klasifikasi dalam Pemutaran Film: Studi Kasus Klasifikasi Film di Kinoki. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 17(3): 220-235.


Erwantoro, Heru. (2011). Sensor Film di Indonesia dan Permasalahannya dalam Perspektif Sejarah (1945 – 2009). Jurnal Patanjala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, 3(2): 365-383.


Jowett , G. dan J Linton. (1980). Movies as mass communication. Beverly Hills: Sage.


Nugroho, Garin. (1995). Kekuasaan dan hiburan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.


Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 7 tahun 1994 tentang lembaga sensor film. Diakses melalui https://www.bphn.go.id/data/documents/94pp007.pdf pada 28 April 2020 pukul 21.43 WIB.


Rahadian, Aristya. (2019). Begini sejarah panjang perfilman indonesia. Diakses melalui https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20190331174326-36-63946/begini-sejarah-panjang-perfilman-indonesia pada 29 April 2020 pulik 22.00 WIB.


Samudro, Adrian. (2019). Daftar 10 film horor indonesia dengan jumlah penonton terbanyak. Diakses melalui https://tirto.id/daftar-10-film-horor-indonesia-dengan-jumlah-penonton-terbanyak-efRg pada 27 April 2020 pukul 18.00 WIB.


Sembiring, Ira Gita. (2019). Kucumbu tubuh indahku, film kontroversi dengan sederet prestasi. Diakses melalui https://www.kompas.com/hype/read/2019/11/14/101651466/kucumbu-tubuh-indahku-film-kontroversi-dengan-sederet-prestasi pada 28 April 2020 pukul 22.36 WIB.


Sugiyono. (2005). Memahami penelitian kualitaif. Bandung: Alfa Beta.


Turner, Graeme. (1991). Film as social practice. London: Routledge.


Undang-undang nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman. Diakses melalui https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-33-2009-perfilman pada 28 April 2020 pukul 21.50 WIB.

 
 
 

Recent Posts

See All

Commenti


Join my mailing list

Thanks for submitting!

© 2023 by The Book Lover. Proudly created with Wix.com

bottom of page