Kebijakan Pers pada Era Demokrasi: Apakah Sudah Bebas?
- kebijakankom.f13
- Apr 12, 2020
- 3 min read
Updated: Apr 30, 2020
Materi ini disiapkan untuk memenuhi tugas perkuliahan Regulasi dan Kebijakan Komunikasi dengan topik kebijakan pers pada era demokrasi pada Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), tanggal 6 Maret 2020.

Setelah era reformasi, pers berkembang lebih pesat lagi karena kebebasan yang didapat setelah bertahun-tahun dikekang pemerintahan orde baru. Tahun 2004, rakyat Indonesia akhirnya memilih dengan secara langsung pemimpinnya. Nama Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden pilihan rakyat yang dipilih secara langsung. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berperan dalam pembentukan serta pelaksanaan kebijakan pers. Meski begitu, realita yang ada menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi masih diragukan (Nugroho, Dkk. 2012; 40).
Pada tahun 2008, ada kasus Prita Mulyasari. Ia terkena pasal pencemaran nama baik dalam pasal UU ITE 11/2008. Makin ke saat ini, UU ITE menjadi alat utama bagi melawan kebebasan mengungkapkan pendapat. Banyak kasus yang terjadi menggunakan UU tersebut. Southeast Freedom of Expression Network (SAFEnet) dalam CNN mengungkapan bahwa pada tahun 2018 terdapat 292 kasus terkait UU ITE. Jumlah tersebut meningkat tajam dibandingkan tahun sebelumnya dengan jumlah 140 kasus (CNN, 2019). Kasus terbanyak adalah pencemaran nama baik dengan 149 kasus.
Kebebasan yang dipahami oleh masyarakat luas juga menjadi tidak dapat dirasakan ketika pemerintah juga membuat peraturan yang mengizinkan penguasa melakukan penyadapan. Dengan ketidakjelasan serta rincian yang rancu pemerintah dianggap dapat merusak kebebasan yang diinginkan masyarakat (Nugroho, dkk. 2012;41). Selain UU ITE, beberapa peraturan lain muncul, diantaranya, pada tahun 2011, UU Intelijen No. 17/2011. UU Pornografi No.44/2008. Peraturan-peraturan ini dirasa juga menutup adanya kebebasan baik pribadi hingga kelas komunal. Reporters Without Border dalam laporannya menyebut Indonesia menduduki peringkat ke-124 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers 2019. Peringkat tersebut jelas sangat rendah dan Indonesia berada di bawah Malaysia, Ethiopia, dan Kenya (Tempo, 2019).
Jurnalis asing juga tak luput dalam menjadi korban kebijakan pers yang tidak bebas. Dalam pemerintahan Joko Widodo, beberapa wartawan internasional harus dipenjara. Pada Oktober 2014, dua jurnalis asal Prancis, Thomas Dandois dan Valentine Bourrat, yang sedang menjalankan aktivitas jurnalistik di Papua, dihukum 2 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jayapura. Tahun 2015, Pengadilan Negeri Batam memvonis dua wartawan Inggris, Neil Richard George Bonner dan Rebecca Bernadette Margaret Prosser, dengan hukuman 2 bulan dan 15 hari penjara. Alasan penahanan jurnalis asing adalah karena penyalahgunaan visa. Pemerintah juga mengusir tiga wartawan BBC Indonesia yang hendak meliput kejadian luar biasa campak dan busung lapar di Agats, Kabupaten Asmat, Papua, pada 2018. (Tempo, 2019).
Terbaru, jurnalis Mongabay asal Amerika Serikat, Philip Jacobson ditahan oleh Kantor Imigrasi Kota Palangkaraya pada 22 Januari 2019. Jacobson akan meliput konflik perebutan lahan antara masyarakat adat dan pengusaha. Pihak Imigrasi bahkan sudah menahan paspor dan visa Jacobson sehari setelah dia bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, beraudiensi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Tengah pada 16 Desember lalu. Jacobson kerap menulis laporan investigasi lingkungan, antara lain soal kerusakan hutan serta konflik lahan di sejumlah daerah di Indonesia. (Tempo, 2019).
Hal seperti contoh di atas menunjukkan ada masalah dalam kebebasan pers yang sebenarnya sudah ada sejak setelah reformasi. Namun, pemerintah mencoba menutupi hal yang sekiranya membahayakan mereka. Hal tersebut hanya akan memperburuk reputasi Indonesia sebagai negara yang sebelumnya memiliki kebebasan pers yang baik di Asia. Poin Indonesia sebenarnya menurun. ketika poin menurun berarti indeks makin baik. Pada tahun 2015, nilai Indonesia sebesar 40,75 poin. Angkanya menurun menjadi 36,77 poin pada 2019. Meski begitu angka ini tetap jauh dari negara lain. (Pusparita, Y. 2019).
Berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), selama 2014 hingga 2018 kekerasan terhadap jurnalis terjadi di Indonesia dengan angka beragam. Angkanya sempat meningkat menjadi 81 orang pada 2016. Jumlah tersebut menjadi yang terbesar selama lima tahun terakhir. Tahun 2018, data menunjukkan 64 kasus kekerasan kepada wartawan. Lima tahun terakhir, jenis yang paling sering terjadi adalah kekerasan fisik. Selain itu, pengusiran atau pelarangan liputan, teror, perusakan data atau hasil liputan, dan kriminalisasi. (Pusparita, Y. 2019). Oktober 2019 lalu, Maraden Sianipar dan Martua Siregar ditemukan tewas di Labuhanbatu, Sumatra Utara. Kematian kedua jurnalis tersebut diduga karena meliput sengketa lahan. Tersangka utamanya adalah pemilik lahan sawit PT. Amelia. (Oliver, D. 2019).
Daftar Pustaka
Nugroho, Y., Siregar, MF., Laksmi, S. (2012). Memetakan Kebijakan. Media di Indonesia (Edisi Bahasa Indonesia).
Laporan. Bermedia, Memberdayakan Masyarakat: Memahami kebijakan dan tata kelola media di Indonesia melalui kacamata hak warga negara.
Kerjasama riset antara Centre for Innovation Policy and Governance dan HIVOS Kantor Regional Asia Tenggara, didanai oleh Ford Foundation. Jakarta: CIPG dan HIVOS.
Sumber laman:
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/11/19/rendahnya-indeks-kebebasan-pers-di-indonesia. penulis: Yosephine Pusparita.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/11/13/kekerasan-terhadap-jurnalis-di-indonesia-masih-terjadi penulis: Yosephine Pusparita.
Comments