top of page
Search

Kebijakan Komunikasi pada Media Cetak di Era Kolonial Belanda, Pendudukan Jepang dan Era Proklamasi

  • Writer: kebijakankom.f13
    kebijakankom.f13
  • Apr 12, 2020
  • 4 min read

Updated: Apr 30, 2020

Paper ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Regulasi dan Kebijakan Komunikasi Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UAJY Tahun Akademik 2019/2020

Era Penjajahan Belanda

Berawal dari masyarakat kolonial Belanda menerbitkan berita yang pada saat itu disebut dengan akhbar dengan bahasa Belanda. Kemudian masyarakat Indo Raya dan Cina juga menerbitkan berita dengan bahasa Belanda dan Cina menggunakan bahasa daerah. Percobaan pertama dilakukan pada masa Gubernur Jenderal Van Imhoff yang telah menerbitkan Bataviasche Nouvelles tahun 1774, tapi hanya bertahan selama dua tahun. Berita ini terbit pada 20 Juni 1774 dan cetakan edisi pertama beredar pada 7 Ogos 1774 guna untuk menyuarakan aspirasi masyarakat Indonesia yang menentang polisi kaum penjajah dan menjadi bentuk kuasa yang kuat atas pertentangan polisi pemerintah Belanda saat itu.


Pada awal abad ke-19, muncul Bataviasche Kolonial Courant yang kemudian diganti oleh masa kerajaan Inggris berita tersebut jadi menggunakan bahasa Inggris yaitu Java Gouverment Gazette. Setelah kawasan jajahan Inggris kembali diserahkan pada Belanda, berita atau akhbar tersebut diteruskan dengan nama Javasche Courant dan tetap membawa suara Hindia Belanda. Kristen Van Houvell membuat pejabat-pejabat kerajaan terjerat karena dalam usaha mengadakan pengembangan mengenai hal kebebasan berita sebagai yang pertama dan penting dalam programnya pada tahun 1848. Selanjutnya, berita pada era kolonial Belanda mengalami rintangan dalam perkembangannya, maka kerajaan mengadakan pengawasan terhadap berita Indonesia dan Cina.


Belanda menciptakan undang-undang yang berisikan tentang hukuman terhadap penyiaran-penyiaran berita mauoun yang berbentuk kata-kata (berita), surat, gambar, secara langsung atau tidak langsung, dan secara terbuka atau tidak yang sekiranya akan membuat kekacauan terhadap kerajaan Hindia Belanda. Pada 7 September 1931 kerajaan kolonial Belanda memperkenalkan Persbreidel Ordonnantie (Ordinan Akhbar). Gubernur Jendral memberi hak untuk melarang penerbitan tertentu yang dinilainya dapat mengganggu ketentraman. Walau kerajaan kolonial Belanda memanfaatkan aturan tersebut tetapi pejuang-pejuang Indonesia tidak patah semangat untuk menyalurkan aspirasi melalui akhbar karena kolonial Belanda sangat takut jika Indonesia dapat melawannya.


Dalam Anom (2013), dasar akhbar terbagi menjadi lima periode waktu dari tahun 1906-1942. Setiap periode menjelaskan dasar yang dikeluarkan mengikut latar belakangnya. Pada masa tahun 1906-1913, pembuatan dan penyebaran akhbar sangat bebas dan ditandai dengan penghapusan pencegahan terhadap barang cetakan. Pemerintah kolonial Belanda juga mendukung dalam berkembangnya akhbar demi memajukan rakyat pribumi, bahkan Gubernur Jenderal memberi bantuan modal serta menyelaraskan akhbar tersebut. Tahun 1913-1918 adalah masa di mana rakyat pribumi mempunyai kesempatan besar dalam menyampaiakan ide dan aspirasi terutama pada bidang politik, ditambah dengan terbentuknya Dewan Rakyat (Volksraad) yang membuat berita atau akhbar berisikan tentang perdebatan para elit politik. Namun pada 1918-1927 adalah langkah awal kemunduran dari akhbar rakyat pribumi. Penguasa kolonial Belanda mulai membatasi akhbar pribumi terkhusus mengenai radikal seiring dengan mulai bangkitnya nasionalisme rakyat pribumi yang terwujudkan dengan terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakatan yang berbau politik. Puncaknya adalah pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada beberapa wilayah yang berhasil ditewaskan tantara kolonial Belanda.


Pada periode ini Belanda juga mulai menggunakan Kitab Undang-Undang Pidana yang ditakuti oleh masyarakat terkhusus yang mengatur perkara penyebaran kebencian serta kekuasaan negara. Pada tahun 1927-1931 era penerapan ordinan akhabr disetujui oleh Gubernur Jenderal karena dianggap mengganggu kesejahteraan dan keselamatan umum. Masa ini berlaku selama delapan hari dan jika masih ada yang membangkang maka ditambah menjadi tiga puluh hari. Akhir periode yang menjadi puncak penamatan akhbar terjadi pada tahun 1931-1942 dengan sejumlah media. Pada masa ini kolonial Belanda berhasil menguasai dasar akhbar dari aspek hokum, sosial, dan ekonomi. Dasar akhbar kolonial Belanda berakhir setelah kedatangan Jepang di Indonesia tahun 1942.


Era Pendudukan Jepang

Saat era pendudukan, banyak perubahan yang terjadi. Segala hal berbau Belanda berusaha disingkirkan oleh pemerintah Jepang yang menduduki Indonesia. Sejarah saat pendudukan Jepang dimulai ketika penguasa Jawa-Madura membuat peraturan tentang alat penerbitan dan komunikasi. Peraturan tersebut diatur dalam Undang-Undang No.16/1942. (Siswantoro dan Atmakusumah, 2002). Peraturan ini bertujuan untuk mengatur mengenai sistem terbit dan mengenai pencegahan. Di dalamnya terdapat dua pasal, pertama, segala macam barang cetakan harus memiliki izin penerbitan. Kedua, pemerintah Jepang melarang penerbitan yang menjadi musuh dari Jepang untuk meneruskan aktivitas penerbitan. Dalam kasus ini, pemerintah Jepang menunjuk Belanda secara tidak langsung dikarenakan sebelum Jepang, Belanda menjajah Indonesia (Siswantoro dan Atmakusumah, 2002). Namun, di sisi lain, media Indonesia yang memberitakan anti-Jepang, dan media Cina yang membahas keganasan Jepang juga dilarang.


Akhirnya, media Belanda dan Cina direbut Jepang dan penerbitan lokal Indonesia beberapa boleh berjalan dengan kontrol yang ketat dari pemerintah Jepang. (Edward C. Smith, 1969). Jepang memiliki misi propaganda di Indonesia. Agar maksud tersebut berjalan, Pemerintah membuat lima media: Asia Raya (Batavia), Tjahaja (Bandung), Sinar Baru ( Semarang), Sinar Matahari (Yogyakarta), dan Suara Asia (Surabaya). Diperkirakan sebanyak 80.000 naskah tersebar dari seluruh media. Media nasional Indonesia sendiri seperti matisuri dalam periode pendudukan Jepang. Aturan dari pemerintah Jepang terlalu mengekang media asli nasional Indonesia. Jepang juga membuat aturan lain pada Mei 1942 tentang Undang-Undang Media yang isinya mengatur izin penerbitan dan penarikan balik.


Era Perjuangan Kaum Nasional

Media di Indonesia selama masa penjajahan berkembang dalam lingkup kedaerahan. Majalah-majalah tersebut menjadi penyebar semangat nasionalis bagi rakyat Indonesia untuk melawan penjajah. Media di Indonesia juga dipengaruhi oleh pandangan politik. Media yang muncul biasanya media dari komunitas sehingga menyesuaikan dengan pandangan politik. Sinar Djawa, Panjaran Warta, dan Saroetomo adalah contoh dari media yang muncul berdasarkan pandangan politik. Tercatatat terdapat 33 media dengan total mencapai 47.000 naskah pada akhir masa kolonial. (Suromihardjo, A. dan Suryadinata. L, 1980).


Pemerintah Belanda sempat mencoba mengatasi maraknya media Indonesia lewat Ordinan pada media tahun 1931. Peraturan ini membuat 27 penerbit dibredel oleh pemerintahan Belanda. (Lee, 1971). Masalah setelah kemerdakaan adalah banyaknya media di Indonesia yang sangat terpengaruh dengan politik dan melupakan jati dirinya. Terjadi perubahan dari media perjuangan ke media corong politik.


Daftar Pustaka

Anom, Erman. 2013. Regulasi dan kebijakan media cetak di indonesia masa zaman penjajah. Jurnal Komunikologi. Vol 10, No. 2.


Astraatmaja, Atmakusumah. 2002. Kebebasan Pers dan Arus Informasi di Indonesia. Lembaga Studi Pembangunan: Jakarta.

 
 
 

Recent Posts

See All

Comments


Join my mailing list

Thanks for submitting!

© 2023 by The Book Lover. Proudly created with Wix.com

bottom of page